PERKAWINAN MUSLIM DAN NON MUSLIM

prof-kh-ibrahim-hosen_220406160832-968

PENGANTAR

Problematika perkawinan adalah suatu masalah yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Masalah ini akan selalu menarik untuk dibicarakan tanpa memandang tempat dan waktu. Di Indonesia, sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan, maka hukum-hukum perkawinan yang selama ini masih bercorak dualistis telah dapat diunifikasikan. Dengan demikian problema adanya dualisme dalam hukum perkawinan Indonesia telah berakhir.

Oleh karena sebagian dari Hukum Perkawinan Islam (Munakahat) yang pernah dituangkan dalam bentuk undang-undang secara tersendiri, kini secara yuridis formil tidak berlaku lagi dalam hukum positif Indonesia, sekalipun harus diakui bahwa sebagian dari materi Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 tersebut dengan tata aturan yang terdapat dalam Munakahat Islam. Misalnya masalah perizinan berpoligami, batas usia minimal diperbolehkan kawin, dan sebagainya.

Lalu bagaimana status munakahat Islam dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 itu? Pasal 2 ayat 1 dari undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan, “Perkawinan adalah sah bilamana dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan itu. Jelaslah bahwa materi munakahat Islam sekalipun secara yuridis formil dinyatakan tidak berlaku lagi, namun pelaksanaannya dalam praktik perkawinan umat Islam dilindungi undang-undang dan hukum Islam telah menggariskan, perkawinan muslim yang tidak dilaksanakan menurut prosedur dan persyaratan yang ditetapkan menurut aturan syariat dinyatakan “tidak sah”.

Masalah-masalah yang tidak diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tersebut adalah soal perkawinan campur antar umat beragama. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan Hukum Perkawinan Islam, tulisan ini akan mencoba mengemukakan masalah perkawinan antar muslim dengan non muslim ditinjau dari segi hukum Perkawinan Islam. Siapakah yang disebut non muslim?

Menurut pandangan akidah Islamiah, golongan non muslim itu dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan, yaitu:

  1. Golongan yang tidak mempunyai kitab suci yang diturnkan dari langit/Tuhan (wahyu samawi), dan tidak pula mempunyai kitab suci karangan seorang manusia. Mereka itulah yang disebut “kaum penyembah berhala” (Al-Watsaniyyun).
  2. Golongan yang mempunyai kitab suci hasil karangan manusia yang disebut “Syibhatul Kitab”. Golongan ini di antaranya pemeluk agama Majusi (penyembah api) yang berpedoman kepada kitab suci yang dibawa oleh nabi mereka yaitu Zoroaster. Selain itu, golongan dari pemeluk agama Hindu, Shinto, Budha, Kong Hu Cu, dan sebagainya.
  3. Golongan ahli kitab. Mereka adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani yang masih beriman kepada kitab suci taurat dan Injil. Pada dasarnya seornag yahudi beriman kepada nabi Musa yang membawa taurat (Old Testament). Dan orang Nasrani mengimani Taurat di samping Injil (New Testament) yang dibawa nabi Isa (Yesus Kristus).

Demikianlah menurut klasifikasi yang diberikan oleh ulama fikih seperti tercantum dalam karangan Al-Jazairy. (Lihat Al-Fikihu ‘ala Madzhibil Arba’ah, juz IV hal. 75)

Di dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan sebagai berikut:

  1. Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian), dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (QS. Al-Baqarah: 105).
  2. Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah: 11).

Dari kedua ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan non muslim (orang yang tidak beragama Islam) ialah orang musyrik dan ahli kitab. Dengan kata lain orang-orang musyrik ialah orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci dan penyembah berhala, sedang orang-orang yang disebut ahli kitab adalah golongan Yahudi dan Nasrani. Adapun pemeluk agama yang berpedoman kepada kitab suci karangan manusia menurut paham ayat di atas, dikategorikan pada golongan musyrik. Dalil yang mengatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah ahli kitab terdapat dalam Al-Qur’an itu sendiri.

Perlu diingat, adakalanya sebutan non muslim itu ditunjukkan terhadap orang-orang kafir saja, yang tiada lain adalah orang musyrik dan ahli kitab. Intinya, pengertian non muslim ialah setiap orang yang tidak menganut akidah Islamiyah, apakah mereka disebut musyrik, ataukah kafir, ahli kitab dan sebagainya.

PERKAWINAN MUSLIM DAN NON MUSLIM

Perkawinan campuran yang terjadi antara muslim dengan non muslim dapat dikategorikan kepada dua macam, yakni:

  1. Perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim.
  2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim.

Mengenai bentuk perkawinan pertama, maka berdasarkan dalil yang sharih (jelas) dari Al-Qur’an dikatakan bahwa perkawinan demikian diharamkan, Allah berfirman:

“…..dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita) mu’min sebelum mereka beriman…” (QS. Al-Baqarah: 221)

Masalah tersebut sudah merupakan ijma’ ulama sehingga tak perlu lagi dipermasalahkan. Mengenai bentuk perkawinan kedua, yakni perkawinan yang terjadi antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim, akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

HUKUM MENIKAHI WANITA NON MUSLIM

Menanggapi masalah ini para ulama dan fuqaha’ berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya perbedaan analisa dan interpretasi mereka terhadap ayat (nash) yang menjadi dalil penetapan hukumnya. Dalil nash yang dijadikan dasar pendapat-pendapat yang berbeda itu ialah:

Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak  yang  mukmin lebih baik dari orang musyrik,

walaupun  dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 220)

PENDAPAT YANG MEMPERBOLEHKAN

Di antara ulama yang memperbolehkan menikah dengan wanita non muslim adalah Muhammad Abduh. Menurut Muhammad Abduh, agama-agama lain seperti Majusi, Konghucu, Budha, Hindu, dan lain-lain adalah termasuk ahlul kitab. Dengan demikian, menikahi wanita-wanita mereka adalah halal sejalan dengan pendapat jumhur yang memandang halal menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh pengertian ahlil kitab tidaklah terbatas pada Yahudi atau Nasrani, tetapi mencakup agama-agama lain yang mempunyai kitab suci atau semi kitab suci seperti Majusi, Shabi’in, Kong Hu Cu, Budha, Hindu dan lain-lain. Alasan syaikh Muhammad Abduh antara lain:

  • Ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap umat pernah diutus seorang Rasul padanya seperti:
  1. Surat Al-Fathir ayat 24:

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

  1. Surat Ar-Ra’du ayat 7:

… إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

”… Sesungguhnya kamu hanyalah seorang Rasul yang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada Rasul yang memberi petunjuk

Dengan adanya ayat-ayat ini, maka kemungkinan besar mereka itu termasuk umat yang di dalamnya diutus seorang Rasul yang membawa kitab suci untuk mereka. Hanya saja karena sudah terlalu jauh masanya maka terjadi penyimpangan di berbagai tempat dan kita tidak mengetahui secara persis sumber yang otentik.

  • Adanya ayat Al-Qur’an yang menyebutkan Majusi, Shabi’in termasuk kelompok agama tersendiri di luar Yahudi dan Nasrani sebagaimana diketahui dari surat al-Hajj ayat 17:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلْمَجُوسَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan kepada mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

  • Al-Qur’an menyebutkan agama Majusi dan Shabi’in merupakan agama-agama kuno karena dua agama ini sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada saat Al-Qur’an itu diturunkan. Sedangkan agama-agama lain seperti Budha, Hindu, Shinto tidak disebutkan karena agama-agama tersebut belum dikenal oleh mereka sebab lantaran mereka belum banyak mengadakan lawatan ke negeri-negeri jauh di mana agama-agama tersebut berkembang. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak perlu menyebutkan macam-macam agama yang belum dikenal oleh orang-orang di mana Al-Qur’an itu diturunkan kepada mereka.

Demikianlah pendapat Muhammad Abduh tentang hukum menikahi wanita-wanita agama lain selain Yahudi dan Nasrani, di mana hukumnya sama dengan menikahi wanita Yahudi atau Nasrani, sebab menurut Muhammad Abduh mereka termasuk ahli kitab. Satu hal yang perlu kita catat ialah bahwa Muhammad Abduh sependapat dengan jumhur yang memperbolehkan nikah dengan ahli kitab, namun apabila pernikahan itu ternyata akan membawa fitnah terhadap agama suami atau anak-anaknya maka hukumnya menjadi haram berdasar kaidah sadz al-dzari’ah. Di sinilah titik temu pendapat Muhammad Abduh dengan pendapat yang kuat dari mazhab Syafi’i tentang hukum menikahi wanita ahli kitab.

Mengenai bolehnya menikahi wanita Majusi, Shabi’in, Shinto, Hindu, Budha, dan lain-lain sebagaimana pendapat Muhammad Abduh di atas (terlepas apakah ijtihad Abduh ini benar atau salah) maka menurut pendapat saya seandainya hal ini diterima harusnya kita kaitkan dengan pendapat kuat dari mazhab Syafi’i yang mengatakan haram menikahi wanita ahli kitab yang menganut agama Yahudi atau Nasrani setelah Al-Qur’an diturunkan, sehingga berdasarkan “takhrij” kita akan mengatakan bahwa hukum membolehkannya nikah dengan wanita Majusi, Shabi’in dan lain-lain tersebut adalah dalam kondisi mereka menganut agama-

agama itu sebelum Al-Qur’an diturunkan. Jelasnya setelah Al-Qur’an diturunkan maka menikahi wanita non muslimah (selain musyrik Arab yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash) adalah haram hukumnya, sejalan dengan adanya qayyid/batasan “min qablikum”.

PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN

Golongan ini berpendirian, menikahi wanita ahli kitab haram hukumnya. Demikian pendapat Ibnu Umar dan pendirian golongan Syi’ah Imamiyah. Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai berikut:

  1. “…..dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman”. (QS. Al-Baqarah: 221).
  2. “Janganlah kamu pegang (yakni ceraikanlah) wanita-wanita kafir yang telah kamu nikahi”. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Kedua ayat ini sangat jelas melarang kita untuk menikahi wanita kafir. Ahli kitab termasuk golongan kafir musyrik karena mereka orang Yahudi yang menuhankan Uzer atau mengangkatnya sebagai anak Allah Al-Qur’an menegaskan:

  1. “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzer itu putera Allah”, dan orang-orang Nasrani berkata; “al-Masih itu putera Allah”. Demikian itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-taubah: 30).

Demikian pula keadaannya orang Nasrani (Kristen) yang menganggap Al-Masih (Yesus Kristus) itu adalah putra Allah atau salah satu dari oknum trinitas. Allah mengungkapkan itu dalam firman-Nya:

  1. “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-masih putera Maryam….”(QS. Al-Maidah: 72).
  2. “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang berkata: “Bahwasanya Allah seseorang dari yang tiga….” (QS. Al-Maidah: 73).
  3. Menurut golongan ini perkataan “wal muhshanaat” (al-Maidah: 5) harus diartikan sebagai perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam, atau harus diartikan kebolehan menikahi ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan Islam sedikit jumlahnya.
  4. Keterangan yang mengatakan bahwa setiap kafir pada hakekatnya adalah musyrik, diperkuat dengan adanya sebuah hadis mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Beliau ketika dimintai pendapatnya tentang hukum mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani mengatakan: “haram”, sebab mereka orang musyrik. Kemudian Ibnu Umar berkata: “Manakah lagi Syirik yang paling besar lagi, selain dari orang yang mengatakan Isa itu anak Tuhan. Maha tinggi dan Maha Besar Allah dari apa yang diucapkan orang-orang Zalim”.

PENDIRIAN PENULIS

Setelah mengemukakan beberapa pendapat mengenai masalah perkawinan muslim dengan non muslim ini, maka sampailah penulis kepada mengemukakan pendapat penulis sendiri seperti di bawah ini:

Hemat penulis, pendapat yang paling tepat ialah apa yang dikemukakan oleh qaul mu’tamad dalam mazhab Syafi’i di atas, yaitu kehalalan menikahi wanita kitabiyah adalah berdasarkan keturunannya, yakni mereka atau nenek-moyangnya telah memeluk agama tersebut sebelum nabi Muhammad SAW diutus. Alasan kami adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa lafaz “wal muhsanat” sebagai dasar kehalalan mengawini wanita Kitabiyah (QS. al-Maidah: 5) adalah dikaitkan atau dibatasi pengertiannya dengan lafadz dari ayat berikutnya, yakni “min qoblikum” (sebelum kamu). Jadi yang dimaksud dengan wanita kitabiyah yang beragama dengan agama nenek-moyang mereka sejak sebelum Nabi Muhammad SAW diutus.
  2. Bahwa para sahabat yang pernah mengawini wanita kitabiyah, di mana Umar keberatan dengan peristiwa perkawinan mereka itu, mengandung unsur kebolehan. Artinya wanita yang dikawini tersebut adalah wanita yang beragama Kristen atau beragama Yahudi sebagai agama itu sebelum Nabi Muhammad SAW diutus.

PENUTUP

Jika hal ini kita terapkan di Indonesia, maka orang-orang Indonesia yang menganut agama Nasrani (Protestan/Kristen) sesudah turunnya Al-Qur’an atau setelah Nabi Muhammad SAW dibangkitkan, maka sebenarnya mereka bukanlah termasuk ahli kitab yang dimaksud dalam QS. al-Maidah: 5 di atas. Dan tidak halal bagi seorang laki-laki muslim menikahi wanita mereka. Demikian juga halnya memakan yang dipotong/disembelihnya. Adapun pemeluk-pemeluk agama lain seperi Hindu, Kong Hu Cu, atau tidak beragama sama sekali, jelas diharamkan mengawini mereka.

KERANGKA LANDASAN PEMIKIRAN ISLAM

  1. LATAR BELAKANG

Ide pembaharuan pemikiran dalam Islam yang beberapa waktu yang lalu pernah ramai diperbincangkan, akhir-akhir ini nampak menghangat, mencuat ke permukaan kembali. Selaku orang yang ikut duduk dalam kelompok Pemikir Depag, saya merasa terpanggil untuk ikut bincang-bincang dalam masalah ini. Minimal ada tiga alasan. Pertama, tidak lama setelah ide pembaharuan itu menggelora, ternyata belum ditemukan adanya patokan patokan konkret dari para pencetus gagasan yang mungkin dapat dijadikan landasan penerapan ide yang menarik itu. Kedua, dari para tokoh Islam yang sering mereka tampilkan, seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani ternyata setelah diadakan penelitian tidak meninggalkan kepada kita apa yang diistilahkan dengan patokan-patokan itu. Bahkan kreasi baru dari beliau tidak ada relevansinya dengan ide pembaharuan tersebut. Ketiga, banyak pernyataan terutama dari kalangan awam yang dialamatkan kepada saya sehubungan dengan pencanangan ide dan gagasan yang cukup menggelitik itu.

Oleh sebab itu saya tertarik untuk melempar masalah ini kepada Kelompok Pemikir Depag dengan harapan dapat didudukkan secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kesimpangsiuran. Lebih dari itu tentunya agar ide yang indah itu tidak hanya menjadi slogan.

  1. PERMASALAHAN

Kendati Islam diturunkan di abad onta dan di dunia Arab, akan tetapi Islam ajarannya bukanlah hanya di peruntukkan dan berlaku bagi mereka yang hidup di zaman onta dan bangsa Arab belaka. Islam adalah RAHMATAN LIL’ALAMIIN, universal dan up to date; berlaku untuk seluruh ummat sepanjang zaman dan segala kondisi dan keadaan selama kehidupan dalam jagad raya ini belum berhenti denyutnya.

Pembaharuan adalah berarti perombakan, mungkinkah hal ini dialamatkan kepada Islam yang disebutkan di atas? Bukankah pencanangan ide pembaharuan itu berarti menunjukkan adanya indikasi bahwa Agama Islam yang telah diakui lengkap dan sempurna itu masih mengandung kekurangan atau dengan kata lain ada beberapa ajarannya yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman? selanjutnya, apakah memang demikian?

Atas dasar ini maka jelas atau tidak mungkin kalau hal ini dialamatkan kepada ajaran Islam yang bersifat Qath’i, terutama yang menyangkut masalah akidah syari’ah dan akhlak. Demikian juga tidak relevan kalau pembaharuan itu dimaksudkan dalam bidang sains atau ilmu penegtahuan. Sebab ilmu pengetahuan bukanlah monopoli Islam. Siapa saja yang sanggup memenuhi anjuran Al-Qur’an untuk mempergunakan daya cerna akal fikirannya menguak rahasia alam semesta selaku ciptaan ilahi pasti akan memperolehnya, tidak pandang bulu baik ia muslim ataukah bukan. Kalau selama ini ummat Islam ketinggalan di bidang sains dan ilmu pengetahauan, masalahnya hanya karena ummat Islam ternyata belum banyak yang sanggup memenuhi panggilan kitab sucinya (Al-Qur’an) agar selalu menggunakan akal fikirannya, menelaah, meneliti dan mengkaji rahasia-rahasia ciptaan ilahi ini. Dengan demikian ilmu pengetahuan memang tidak ada yang perlu diperbaharui.

Pembaharuan pemikiran hanya relevan apabila dialamatkan kepada ajaran Islam yang bersifat Zhanni, yang sering disebut dengan istilah Fikih. Yang menjadi masalah sekarang adalah kita telah siap untuk mengadakan perombakan perombakan dalam bidang fikih ini? Pembaharuan dalam fikih berarti kita harus berani mengadakan lompatan ke depan, meninggalkan tradisi lama yang selama ini dipegangi oleh ulama-ulama pendahulu kita, dan untuk itu kita pun harus sanggup serta metode penggalian hukum (Thuruqul Istimbath) yang benar-benar baru yang diistilahkan dengan patokan-patokan sebagaimana telah saya singgung di atas.

Jika yang dimaksud dengan pembaharuan pemikiran oleh para pencetus gagasan itu memang dalam bidang fikih (hukum/kemasyarakatan) maka untuk menetralisir gagasan itu tentunya kita harus mampu merumuskan dan menyusun patokan-patokannya. Namun hal ini memang belum pernah ditampilkan oleh para pencetus ide pembaharuan.

  1. PEMBAHASAN

Sebagai landasan pembahasan pembaharuan pemikiran dalam Islam ini ada tiga masalah prinsipil yang perlu kita dudukkan terlebih dahulu, yaitu: a. Eksisitensi berbagai agama merupakan sunnatullah, b. Islam agama dakwah dan c. Hubungan muslim dengan non muslim. Kemudian kita akan berbicara tentang:

  1. Kedinamisan Syari’ah Islam
  2. Pemahaman terhadap Kitabullah
  3. Pemahaman terhadap Sunnah Rasul
  4. Pendekatan Ta’aqquli
  5. Penekakanan Zawajir dalam pidana
  6. Masalah Ijma’
  7. Mashalihul ‘Illah
  8. Mashahilul Mursalah
  9. Saddudz-Dzari’ah
  10. Irtikaabu Akhffid-Dlararain
  11. Keputusan Waliyyul Amri.

 

  1. EKSISTENSI BERBAGAI AGAMA MERUPAKAN SUNNATULLAH

Eksistensi berbagai agama adalah sunnatullah. Oleh karenanya adalah wajar kalau di muka bumi ini kita dapati berbagai macam Agama dan pemahaman. Sebab Allah swt sendiri memang tidak menghendaki manusia selruuhnya berada di bawah satu panji-panji (baca,Islam). Allah swt berfirman artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang berada di muka bumi ini beriman semuanya. Apakah kamu (Muhammad) hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus:99).

Dari penegasan Al-Qur’an di atas dapat kita pahami bahwa Allah SWT tidak mehendaki untuk menjadikan semua manusia yang ada di muka bumi ini muslim semuanya. Bahkan kita tidak dibenarkan memaksa seseorang untuk memeluk Agama Islam. Di sinilah arti pentingnya toleransi dan kerukunan antar umat beragama ini antara lain telah ditegaskan dalam surat Al-Kafirun.

Bahwa eksisitensi berbagai agama merupakan sunnatullah antara lain dapat kita telaah pada surat Hud ayat 118 yang artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan semua manusia sebagai ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Demikian juga surat An-Nahl ayat 93 yang artinya: “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat saja, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendkainya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”.

Di sini harus kita bedakan antara perintah dan kehendak Allah. Semua manusia diperintahkan oleh Allah untuk beriman tetapi tidak semua dikehendakinya untuk beriman. Bagi yang dikehendakinya beriman tentunya akan beriman dan bagi yang tidak tentunya tidak akan beriman. Atas dasar semua inilah toleransi dan kerukunan antar ummat bergaama harus diletakkan.

  1. ISLAM AGAMA DA’WAH

Pengakuan terhadap adanya berbagai agama membawa konsekuensi perlu diciptakannya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Toleransi dan kerukunan akan dapat diciptakan apabila penyebaran Islam dilakukan melalui dakwah, tidak melalui paksaan atau kekerasan. Oleh sebab itu, sesuai dengan namanya “Islam” yang berarti damai/kedamaian serta sesuai dengan misi Islam “Rahmatan Lil’alamiin”; peneyebar dan pembawa kasih sayang buat penghuni alam semesta, maka penyebaran Islam dilakukan melalui jalan damai dan dakwah. Allah swt berfirman yang artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah sekedar menyampaikan.” (Al-Maidah 99). Ayat semacam ini antara lain dapat di telaah pada surat Ali Imran:20, Al-Maidah:92, ar-Ra’ad:40, An-Nahl:35, an-Nur:54, dll.

Secara tegas Al-Quran melarang penyebaran Islam yang dilakukan melalui jalan paksaan. Allah swt berfirman yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk memeluk Agama Islam, sebab sebenarnya telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat”. (Al-Baqarah 256).

Bahwa Islam adalah agama dakwah bukan teori semata yang hanya termaktub dalam kitab suci, akan tetapi sejarah telah dipraktekkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para pejuang dan ulama-ulama Islam termasuk walisongo yang datang, menyebarkan Islam di bumi Pancasila tercinta ini. Kemudian bagaimana seharusnya dakwah itu dilakukan, al-Quran telah pula meletakkan dasar-dasarnya dalam surat An-Nahl ayat 125 yang artinya: “Serulah mereka ke jalan Allah dengan penuh kebijaksanaan, tutur kata yang baik dan ajaklah mereka berdiskusi dengan cara yang paling baik”.

  1. HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Lantaran itulah maka hubungan muslim dengan non muslim pada dasarnya adalah bungan damai atas dasar toleransi dan kerukunan bukan hubungan permusuhan. Islam mengakui adanya berbagai agama. Sebagai konsekuensinya Islam meletakkan dasar toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama. Sebagai lanjutan dari ini maka penyebaran Islam dilakukan melalui dakwah. Adanya hubungan damai antara muslim dengan non muslim adalah sebagai konsekuensi logis Islam selaku agama dakwah. Namun jika Islam tidak mendudukkan dirinya sebagai agama Islam, maka hubungannya dengan non muslim Islam memproklamirkan permusuhan.

Bahwa hubungan muslim dengan non muslim adalah hubungan damai atas dasar kerukunan dapat ditelaah antara lain dalam firman Allah yang artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al-Mumtahanah: 8). Dan firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang terlaku adil.” (al-Maidah: 8). Dengan demikian jelaslah bahwa perbedaan agama tidak bisa dijadikan penghalang dalam ikut bersama membina kemakmuran dan kesejahteraan dalam rangka kesuksesan atas pembangunan.

Jika sejarah Islam pernah mencatat adanya peperangan, maka hal itu dilakukan sebagai reaksi setelah adanya aksi dalam rangka mempertahankan dan membela diri, yaitu setelah adanya tekanan tekanan dari luar, sejalan dengan firman Allah yang artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang Islam yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (Al-Hajj:39). Dalam kondisi semacam itu maka berlakulah firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir harbi menjadi penolongmu denan meninggalkan orang orang mu’mun.” (An-Nisa 114).

  1. KEDINAMISAN SYARIAH ISLAM

Dari kacamata ushul fikih dapat kita lihat adanya yang bersifat qath’i dan ada yang bersifat zhanni. Ajaran Islam yang bersifat qath’i ialah yang ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah: ia harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah dan tidak bisa dikurangi serta belaku dalam segala kondisi dan situasi; Ijtihad tidak berlaku adanya dan tidak bisa difilsafatkan. Ajaran/hukum Islam yang bersifat qath’i inilah yang terkenal dengan sebutan Syari’ah dan lazim pula disebut dengan sebutan Maa ‘Ulima Minaddin Biddlarurah.

Ajaran (hukum) Islam yang bersifat Zhanni ialah yang tidak ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah: ia baru diketahui setelah digali oleh imam-imam mujtahid. Kelompok ini terkenal dengan sebutan Fikih dan di sinilah Ijtihad

memainkan peranannya. Karena fikih adalah hasil ijtihad maka jelas hal ini menerima untuk difilsafatkan.

Baik yang bersifat Qath’i (Syari’ah) atau yang bersifat Zhanni (Fikih) keseluruhan adalah diisyari’atkan untuk kemaslahatan umat manusia, yang syariat nya berlandaskan prinsip-prinsip kemudahan dan kelapangan. Lantaran itulah maka setiap kewajiban di dalam Islam, disyariatkan atas dasar prinsip kemudahan dan kelapangan ini. Shalat diwajibkan, bagi yang mampu berdiri wajib melaksanakan dengan berdiri, bagi yang tidak mampu boleh dengan duduk, bagi yang tidak sanggup boleh dengan berbaring, dan kalau sudah tidak sanggup maka dapat dilakukan dengan kemapuannya. Demikian juga mengenai ajaran Islam yang lain, seperti zakat, puasa, haji dan larangan memakan bangkai dan lain-lain.

Sumber kemudahan dan kelapangan ajaran Islam yang menjadi sendi dinamika dan keluwesan ajaran/hukumnya, bila kita teliti terdapat pada tujuh macam:

  1. Gugurnya ibadah pada saat ‘uzur (berhalangan) seperti gugurnya kewajiban melakukan ibadah haji pada saat tidak aman.
  2. Pengurangan, seperti melakukan qasar shalat bagi musafir.
  3. Penggantian, seperti tayamum sebagai ganti dari wudu
  4. Prinsip mendahulukan seperti jama’ taqdim di ‘Arafah.
  5. Prinsip mengakhiri, seperti jama’ ta’khir di Muzdalifah.
  6. Prinsip merubah, seperti merubah aturan shalat dalam keadaan bahaya
  7. Rukhshah (dispensasi) seperti makan bangkai dalam kondisi darurat.

Di sinilah letak keluwesan, elastisitas dan kedinamisan syari’at Islam; sehingga Islam selalu cocok dan sesuai dengan segala kondisi dan situasi serta berlaku sepanjang zaman. Kalau ajaran/hukum Islam yang bersifat qath’i (Syari’at) demikian nampak dinamis dan luwes maka unsur kedinamisan dan keluwesan ini justru akan nampak lebih menonjol dalam ajaran/hukum Islam yang bersifat dzhanni (Fikih). Sebab bukan saja karena Ijtihad dapat memainkan peranannya serta dapat dilakukan filsafat, akan tetapi dari segi penerapannya fikih harus mengikuti kondisi dan situasi serta senapas dengan tuntunan dan perkembangan zaman. Demikian agar tujuan ini dalam melakukan syariat hukum Islam yaitu Jalbu Mashaalihil ‘Ibad (Menciptakan Kemaslahatan Umat) dapat terpenuhi dan dengan dinamika fikih semacam itu maka Islam akan selalu tampil untuk menjawab segala tantangan zaman.

  1. PEMAHAMAN TERHADAP KITABULLAH

Kitabullah yang dimaksud adalah kitab suci Al-Qur’an yang lazim disebutkan pula dengan Maa Anzalallah; apapun yang yang diturunkan oleh Allah. Dalam memahami kitab suci Al-Qur’an (Maa Anzalallah), ulama-ulama dahulu banyak memahami secara harfiah; sehingga kalau dalam realitas kehidupan mereka mendapatkan sesuatu yang secara harfiah tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Al-Qur’an (sekalipun dari segi manfaat dan jiwanya dikehendaki oleh Al-Qur’an) maka mereka akan mengatakan bahwa hal itu termasuk ancaman firman Allah yang artinya: “Barangsiapa tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka termasuk golongan orang kafir.” (QS. al-Maidah 44).

Jika kita telah setuju tentang perlunya pembaharuan pemikiran Islam, maka kita harus berani mengadakan perombakan dalam masalah ini, yang antara lain dapat kita tempuh dnegan jalan bahwa pemahaman terhadap Kitabullah (Maa Anzalallah) hendaklah kita artikan dalam arti semangat dan jiwanya, sehingga apabila dalam kehidupan ini kita dapati suatu aturan atau perundangan undangan yang dari segi semnagat dan jiwanya relevan dengan Al-Qur’an (Maa Anzalallah) maka aturan dan perundang-undangan itu tentu dapat kita terima (dibenarkan oleh Islam), sekalipun secara harfiah tidak disebutkan oleh Al-Qur’an atau bahkan dari segi lahiriahnya dengan Al-Qur’an.

Sebagai contoh misalnya, Pancasila secara harfiah jelas tidak bakalan kita temukan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi kalau kita lihat dari segi bahwa dengan Pancasila kesatuan dan persatuan bangsa dapat diwujudkan maka bisa saja Pancasila ini kita terima sebagai azas tunggal. Sebab dari segi ini berarti Pancasila relevan dengan jiwa dan smenagat Al-Qur’an. Apalagi kalau dilihat dari segi bahwa butir butir isi Pancasila itu memang semuanya sesuai dan tidak ada yang berlawanan dengan Al-quran (Maa Anzalallah).

Demikian juga mengenai peraturan dan perundang-undangan yang lain yang dari segi semangat dan jiwanya tidak berlawanan dengan Al-Qur’an tentunya dapat kita terima dan jelas tidak bisa dikategorikan dalam langkah/tindakan yang diancam oleh firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44 di atas.

  1. PEMAHAMAN TERHADAP SUNNAH

Sunnah yang dimaksud adalah apa yang sering disebut hadis atau khabar yaitu  ucapan, perbuatan penetapan  Rasulullah saw.  dalam memahami sunnah Rasul,  ulama-ulama terdahulu tidak mengadakan klasifikasi apakah sunnah itu dilakukan atas nama Rasul dalam rangka tasyri’ul ahkam ataukah dilakukan selaku insan biasa sebagai sifat basyariyah. Dengan demikian semuanya diikuti dan menjadi dalil untuk dipegangi.

Sejalan dengan firman Allah swt. Yang artinya: “Sungguh dalam pribadi Rasul terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu semua”. (QS. Al-Ahzab: 21). Dan firman Allah yang artinya : “Apa-apa yang datang kepadamu dari Rasul maka Ikutilah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah”. (QS. Al-Hasyr: 7).

Kalau kita ingin mengadakan perlombaan dalam masalah ini ini ini maka dapat kita tempuh dengan jalan mengadakan klasifikasi bahwa sunnah baru dapat kita jadikan pegangan yang wajib kita ikuti apabila hal itu dilakukan oleh Rasulullah atas nama rasul sebagai tasyri.

Dalam hal Selain itu yaitu apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah bukan atas nama Rasul selaku manusia biasa, tentunya tidak termasuk ke dalam kategori firman Allah di atas sehingga tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikuti.  sebagai contoh misalnya Rasulullah saw menyukai makanan yang manis-manis, kaki kambing dan yang lain. demikian juga apa-apa yang dilakukan oleh Rasul akan tetapi merupakan khususiah maka tidak bisa kita jadikan sebagai dalil untuk kita ikuti seperti Rasulullah menikah lebih dari 4 dan lain-lain.

Selain itu pemahamannya perlu ditekan kan pula dari segi jiwa dan semangatnya serta dalam permasalahan dunia yang menyangkut teknis dan pelaksanaan maka sebaiknya kita berpegang pada hadis nabi yang artinya: ”kamu lebih mengetahui tentang teknis urusan duniamu”. (HR. Muslim).

  1. PENDEKATAN TA’AQQULI

Dalam mendeteksi ajaran atau hukum Islam, ulama banyak melalui pendekatan akal sehingga lantaran itu kausalitas atau illat hukum dan hikmah tasyri’ tidak banyak terungkap dan pikiran muslimin menjadi jumud atau beku.

Pembaharuan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan jalan bahwa sebaiknya dalam memahami ajaran atau hukum Islam hendaklah ditempuh melalui pendekatan ta’aqquli;  penerimaan ajaran atau hukum Islam ditempuh lewat pendidikan ilmiah rasional; sehingga kausalitas hukum dan hikmah disyariatkannya dapat dicerna oleh penalaran umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan. Dengan prinsip ini maka ajaran atau hukum Islam bukan saja mudah dipahami dan diterima oleh umat manusia akan tetapi juga sekaligus melatih umat Islam menjadi kritis dan cerdas daya penalarannya dan lebih dari itu ajaran atau hukum Islam akan diterima berdasarkan kesadaran ilmiah yang benar.

  1. PENEKANAN JAWAZIR DALAM PIDANA

Dalam masalah pidana ulama-ulama dahulu banyak menitikberatkan dalam aspek jawabir, artinya dengan hukuman yang dilakukan itu maka dosa atau kesalahan si pelaku pidana akan diampuni oleh Allah SWT.  Dengan maka dalam masalah pidana mengenai hukumannya mereka banyak terpaku dengan apa yang dikatakan oleh nash tidak kurang dan tidak lebih sebagai contoh misalnya karena berpegang dengan prinsip ini maka hukuman bagi pencuri tidak ada lain kecuali potong tangan, zina musti dirajam (zina mukhson)  atau didera 100 kali (ghairu mukhsan).

Pembaharuan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan jalan bahwa dalam masalah pidana hendaklah kita tekan kan dalam segi jawazir artinya dengan hukuman yang dilakukan itu agar mereka yang bersalah merasa kapok, tidak pidana  lagi.  dengan demikian maka mengenai hukumannya tidak terikat tidak harus terpaku dengan apa yang ada dalam nash sehingga atas dasar ini maka pencuri bisa saja dihukum dengan hukuman selain potong tangan asal dengan hukuman itu dapat diharapkan bahwa ia akan kapok tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang dilarang itu dan orang-orang lain yang mempunyai niat serupa akan mengurungkan niatnya.  demikian juga orang yang berzina dapat saja dihukum dengan hukuman selain rajam dan jilid,  asal dengan hukuman itu dapat diharapkan ia akan berhenti tidak mengulangi perbuatannya dan orang-orang lain yang mempunyai keinginan ke arah itu dapat dibendung dengan adanya hukuman tersebut.

  1. MASALAH IJMA’

Ulama-ulama terdahulu sangat ketat dalam berpegang dengan Ijma dalam arti sangat luas; mencakup ijma’ sahabat dan selainnya, ijma sharih dan ijma sukuti, ijma’-ijma’ Ahlul Madinah.  Bahkan dalam kasus hukum yang telah disepakati oleh dua atau tiga orang mujtahid, sedangkan setelah itu tidak ada pendapat, mereka  menamakan ijma’.  Akibatnya ialah mereka banyak terpaku tidak berani beranjak untuk melakukan ijtihad dalam masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan. Sebab mereka khawatir dituduh telah menyalahi ijma’.

Pembaharuan dalam bidang ini dapat kita tempuh dengan hanya menerima ijma sharih yang terjadi di kalangan sahabat (ijma sahabat). Sebab menurut penelitian kemungkinan terjadinya ijma’ selain sahabat sebagaimana definisinya telah dirumuskan oleh ushuliyyin adalah sangat sulit. Sementara itu mengenai ijma sukuti masih diperselisihkan. Di samping itu ijma haruslah ada sandaran dan sanad. Kalau sandarannya itu berupa dalil qath’i  maka pada hakekatnya letak kekuatan hukumnya tidaklah terdapat pada ijma’ akan tetapi justru pada dalil yang menjadi sandaran nya itu sendiri kalau dalil yang menjadi sandaran itu zhanni maka jelas sangat sulit ijma’ akan menjadi kenyataan. Sebab masing-masing mujtahid tentunya akan mempergunakan lembaga ijtihad untuk menggali hukumnya sesuai dengan kaidah-kaidah istinbath yang dipegangi, yang sudah barang tentu hasilnya belum tentu sama. Dari segi sanad atau periwayatan tentunya harus mutawatir. untuk meraih ini jelas tidak mudah oleh sebab itu sesuai dengan realitas yang ada ini sebaiknya kita hanya berpegang pada ijma’ sahabat saja dalam rangka pembaharuan ini.

Dengan hanya berpegang kepada ijma’ sahabat maka kita akan berani melangkah mengadakan loncatan-loncatan ke depan memecahkan masalah-masalah kekinian yang memerlukan pemecah, sebab tidak terhindar  dari tuduhan menyalahi ijma’.  Atau jika hendak lebih ke depan maka kita bisa mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pada hakekatnya ijma’ sebagaimana definisinya dirumuskan oleh ushuliyyin itu adalah sulit terwujudnya.

  1. MASALIKUL ‘ILLAH

Sebagaimana dimaklumi setiap penetapan hukum di dalam Islam biasanya mengandung illat.  atas dasar ini maka muncullah kaidah yang artinya: “hukum itu beredar sesuai dengan “illatnya”.  untuk mendeteksi “illat”  suatu hukum dan menguji kebenaran ulama-ulama terdahulu dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mencari “illat”  dan mengetes kebenarannya itulah yang terkenal dengan istilah Masaliku ‘Illah  yang biasanya dibicarakan dalam kaitannya dengan Qiyas.

Qiyas  adalah merupakan dalil yang paling subur dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum ditegaskan oleh Nash,  atau oleh pembahasan-pembahasan ulama mujtahidin terdahulu. Oleh sebab itu dalam upaya menjawab tantangan zaman sebaiknya penggalian hukum baru itu digalakkan melalui qiyas. Dan pembaharuan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan cara merumuskan kaidah-kaidah pencari ‘illat dan pengujian kebenarannya (Masalikul ‘Illah)  yang benar-benar baru; sehingga dalam penggalakan qiyas ini kita tidak terikat dengan Masalikul ‘Illah  gaya lama hasil rumusan ulama-ulama dahulu.  Mungkinkah hal itu dilakukan?  jawabannya adalah ditangan saudara-saudara.

Sebagai contoh, menurut penelitian ulama-ulama dahulu, ‘illat  kebolehan shalat qashar adalah karena safar di mana dalam safar terdapat hikmah madhinatul masyaqqah;  indikasi mengalami kesulitan. Dengan demikian di mana ada di sana boleh qashar. Tidak dilihat apakah safar itu benar-benar melelahkan atau tidak. Yang penting ada safar (dua marhalah). Atas dasar ini maka orang yang pergi dari Jakarta ke Medan dengan pesawat tetap boleh melakukan qashar pada shalatnya, sekalipun hanya ditempuh dalam waktu beberapa jam dengan kondisi yang tetap segar. Sebab ‘illat safar memang terdapat di sana. Sementara itu orang yang pergi dengan jalan kaki dari Ciputat ke Bogor -sekalipun susah, lelah dan capek-tetap tidak bisa mengqashar. Sebab ‘illat safar memang tidak terdapat di sana.

Nah, kalau kita berani mengadakan perlombaan maka kita harus berani meninjau kembali apakah ‘illat  safar itu sudah mantap,  yang tidak mungkin untuk diijtihadkan lagi? Bukankah ’illat itu justru masyaqqahnya? kalau kita telah berhasil membuktikan (berdasarkan masaliku ‘illlah baru yang kita susun) bahwa yang benar ‘illatnya adalah musyaqqah, maka jelas hal ini akan membawa perombakan baru dalam masalah hukum. Sehingga berdasarkan ‘illat masyaqqah ini maka dalam kasus di atas si pejalan kaki tersebut yang boleh melakukan qashar pada shalatnya dan orang yang pergi dari Jakarta ke Medan dengan pesawat jelas tidak dibenarkan. Demikian juga berdasarkan ‘illat masyaqqah ini maka orang yang bekerja keras, seperti pekerja pabrik dan pelabuhan tentunya bisa dibenarkan melakukan qashar. Namun apakah demikian?

  1. MASHALIHUL MURSALAH

Tujuan inti persyari’atan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan ummat. Oleh sebab itu setiap penerapan syariat hukum di dalam Islam tidaklah terlepas dari kemashlahatan ini. Atas dasar ini maka muncullah ucapan ulama: “Di mana ada kemashlahatan di sanalah hukum Allah.” Sebagaimana halnya penerapan syariat hukum tidak bisa dilepaskan dari kemashlahatan, demikian juga masalah kehidupan umat manusia ini tidak mungkin terlepas dari kemaslahatan tersebut. Kemaslahatan umat tentu tidak bisa sama dengan banyak ragamnya. Di samping itu keadaan selalu berkembang dan berubah sedangkan Islam harus sanggup menjawab semuanya ini.

Dalam rangka itulah maka kita dapat menjadikan Mashalihul Mursalah sebagai dalil hukum. Menurut rumusan Ushuliyin Mashalihul Mursalah ialah kemaslahatan di mana agama (Islam) tidak menetapkan hukum untuk merealisirnya, sementara itu tidak ada dalil yang mendukung atau menggugurkannya. Secara gampangan dapat kita terjemahan kemaslahatan.

Berdasarkan mashalihul mursalah ini banyak permasalahan baru yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an atau Sunnah dan dalil-dalil lain, yang dapat kita tetapkan hukumnya. Sebagai contoh mislanya, berdasarkan mashalihul mursalah ini maka pemerintah bisa menetapkan mata uang, pajak harta, harga resmi, mengambil sekian persen dari gaji pegawai negeri untuk pembangunan dan lain-lain. Tentunya sekaligus sanksi bagi mereka yang melanggar aturan yang telah ditetapkan tersebut.

  1. SADDUZ – DZARI’AH

Sadz menurut bahasa berarti menutup, Dzari’at berarti sarana (wasilah). Dalam hal ini (sesuai dengan pengertian istilah) dikhususkan kepada sarana yang membawa ke arah maksiat/haram. Dengan demikian pada mulanya saran itu sendiri hukumnya mubah. Akan tetapi karena sarana itu akan membawa ke arah maksiat/haram maka sarana itupun diharamkan, sejalan dengan kaidah “Lil Wasaili Hukmul Maqasid”. Oleh karena itu, maka haramnya disebut haram Lisadz-Dzari’ah. Ulama-ulama dahulu memberi contoh dengan haram melihat ‘aurat; lelaki haram melihat aurat wanita dan sebaliknya. Melihat ‘aurat diharamkan, sebab hal itu menjadi sarana ke arah perbuatan zina. Dengan demikian illat haramnya bukanlah karena lelaki atau wanita-nya akan tetapi demi kemanan.

Dalam rangka pembaharuan pemikiran dalil sadduz-dzari’ah ini dapat kita galakkan; sehingga berdasarkan dalil ini kita dapat melarang penjualan bebas alat-alat kontrasepsi, melarang penerbitan buku-buku porno, film cabul, poster film yang tidak sopan, kalender dan gambar-gambar porno, menetapkan haramnya memasyarakatkan bayi tabung buatan yang bahannya dari suami istri, melarang berdirinya bank sperma dan lain-lain. Berdasarkan ini pula pemerintah dapat melarang berdirinya tempat-tempat hiburan yang sering dipergunakan untuk tempat dan praktek mesum.

  • IRTIKABU AKHAFFID DLARARAIN

Irtikabu Akhaffid-Dlararain merupakan sikap memilih alternatif yang paling sedikit ringan atau negatifnya.  dalam rangka pembangunan pemikiran melihat bahwa kaidah ini sangat tepat dan efektif untuk memecahkan permasalahan baru yang muncul dalam upaya menambah lengkapnya khazanah pemunculan hukum-hukum baru.

Sebagai contoh,  perang  di bulan-bulan Mulia dilarang. Akan tetapi kalau dalam bulan ini pihak musuh memulai maka berdasarkan kaidah tersebut memeranginya. Sebab perlawanan musuh dalam hal ini adalah merupakan fitnah yang mengancam eksistensi Islam. Fitnah adalah lebih kejam daripada pembunuhan. Sementara itu Islam bagaimanapun wajib dipelihara dan dipertahankan. Dengan demikian haramnya berperang di bulan mulia lebih ringan jika dibandingkan dengan haramnya melepaskan diri dari agama Islam yang menjadi tujuan musuh.

Contoh lain penembakan misterius yang pernah dipraktekkan dalam menumpas kejahatan adalah suatu tindakan yang tidak berdasarkan hukum. Sementara itu kejahatan merajalela dan menjadi-jadi. Jika kejahatan ini dibiarkan begitu saja sudah jelas akan menimbulkan keresahan di mana-mana yang pada gilirannya ketahanan nasional akan goyah dan pembangunan akan berhenti. Berbuat kejahatan baik berupa perampokan, penodongan, pemerkosaan dan lain-lain jelas dilarang oleh agama. Jelas haramnya kejahatan-kejahatan tersebut adalah lebih tinggi nilainya dari pada haramnya penembakan misterius yang dijadikan sebagai alat pemberantasan. Oleh sebab itu berdasarkan prinsip di atas maka penembakan misterius yang dijadikan alat melenyapkan kejahatan tersebut dapat saja dibenarkan.

  1. KEPUTUSAN WALIYYUL AMRI

Waliyul Amri yang dimaksud adalah apa yang disebut dengan istilah Ulul Amri Adduniawi;  pemerintah atau penguasa dengan segala aparatnya dari tingkat yang paling rendah (RT/RW)  sampai tingkat yang paling tinggi (Presiden/Raja/Perdana Menteri)  sejalan dengan pengertian ayat 59 surat An-Nisa’  menurut sebagian mufassirin.

Berdasarkan ayat 59 An-Nisa’ tersebut maka segala peraturan, undang-undang dan keputusan pemerintah wajib ditaati selama semuanya tidak bertentangan dengan agama. Dalam kondisi hal itu tidak dibenarkan oleh agama maka berlakulah ketentuan,  “Laa Tha’ata Limakhluqin Fii Ma ‘Syiyatil Khaliq; (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah).”

Sesuatu yang tidak diperintahkan atau dilarang oleh agama,  hukumnya adalah mubah. Dalam hal ini waliyul Amri atau pemerintah atas dasar kaidah-kaidah yang telah saya uraikan di atas dapat mewajibkan atau melarangnya. Sebagai contoh, atas dasar mashalihul mursalah pemerintah bisa menetapkan aturan bahwa penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi/KUD dengan tujuan agar para petani terhindar dari tipu muslihat lintah darat. Berdasarkan sadduz-dzari’at pemerintah bisa melarang penerbitan buku-buku cabul, film porno, merobek spanduk yang tidak sopan dan lain-lain. Bahkan pemerintah bisa menahan dan membatasi secara mutlak sebagaimana pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin.

Yang menjadi masalah apakah keputusan yang diambil oleh pemerintah itu bersifat diny ataukah qadla’iy? Dalam hal ini ada dua pendapat. Sebagian ulama memandang status hukumnya adalah diny atas dasar bahwa penetapan keputusan itu adalah berdasarkan An-Nisa ayat 59 di atas. Ulama yang lain memandang bahwa status hukumnya adalah qadla’iy atas dasar bahwa penetapan keputusan itu bukan dari Allah dan rasulnya, hanya saja agama memberi hak untuk ditaati.

Bagaimanapun keadaannya maka berdasarkan ayat 59 An-Nisa tersebut semua ulama telah sepakat adanya kewajiban  menaati keputusan yang diambil oleh pemerintah selama tidak mengajak ke langkah maksiat.

Oleh sebab itu agar peraturan atau kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah itu dapat diterima oleh semua pihak maka hendaklah dalam mengambil keputusan,  pemerintah memperhatikan kaidah-kaidah penggalian hukum di atas terutama jangan sampai peraturan atau keputusan itu bertentangan dengan  mabai’ kulliyyan (norma-norma umum)  yaitu prinsip syura (musyawarah), raf’ul haraj (tidak memberatkan), sadduz-dzariat (tidak membawa kepada kemaksiatan) dan tamqiqul ‘adalah (mewujudkan keadilan). Di samping itu agar senafas dan sejalan dengan apa yang telah menjadi kebiasaan yang baik dan keinginan rakyat hendaklah memperhatikan kaidah Al-’Aadat Muhakkamah (Adat istiadat yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dapat dijadikan sumber hukum). Demikian agar tidak terjadi benturan-benturan di sana-sini.

Similar Posts